Selasa, 12 Februari 2019

Tahukah Anda “Di manakah yang sembilan orang itu?”


Sekilas tentang Latar Kultural Lukas 17:11-19
 


Pertanyaan pada judul di atas merupakan bagian dari serangkaian pertanyaan Yesus setelah Ia menyembuhkan sepuluh orang kusta (Luk. 17:11-19). Yesus melontarkan serangkaian pertanyaan karena Ia mendapati bahwa hanya salah seorang di antara sepuluh orang kusta tersebut yang kembali untuk “mengucap syukur kepada-Nya” (berterima kasih).

Memang, kisah yang sangat menarik ini mengandung beberapa aspek latar belakang yang harus dieksplorasi untuk memahaminya secara utuh. Mis. tentang sikap orang-orang Yahudi terhadap penyakit kusta dan orang yang mengidapnya; aturan-aturan tahir-najis; dan hubungan orang Yahudi-Samaria sampai pada masa Yesus.

Namun dalam catatan singkat ini, saya hanya akan fokus untuk mengeksplorasi latar kultural yang berhubungan dengan serangkaian pertanyaan Yesus:
Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini? (Luk. 17:18).

Umumnya…
Pada umumnya orang memahami bahwa asumsi di balik pertanyaan-pertanyaan di atas adalah bahwa terdapat keharusan untuk kembali guna “mengucapkan syukur kepada-Nya” (ay. 16). Kita bisa menyebutnya “mengucapkan terima kasih” (istilah Yunani yang digunakan: eukharisteo – yang dalam banyak versi terjemahan bahasa Inggris: “giving thanks”; BIS-LAI: “mengucapkan terima kasih”]. Hanya orang Samaria itu yang kembali untuk mengucapkan terima kasih, sedangkan sembilan orang yang lain tidak. Dengan kata lain, kesembilan orang tersebut, bila mengungganakan pengungkapan negatif, kita bisa menyebut mereka “tidak tahu berterima kasih”. Mengapa? Karena mereka tidak kembali untuk menyampaikan terima kasih secara verbal (mengucapkan terima kasih) kepada Yesus.

Beberapa komentar berikut akan memperlihatkan pemahaman umum di atas. Leon Morris mengomentari hal tidak kembalinya kesembilan orang tersebut demikian:
Tetapi tampaknya kesembilan orang tersebut terlalu diliputi oleh kebahagiaan baru mereka sehingga mereka tidak menyisakan perhatian lagi terhadap sumbernya (Luke [TNTC; Surabaya: Momentum, 2007], 283).

Ian Howard Marshall berkomentar:
[Mereka] semua memperlihatkan iman dan disembuhkan, namun hanya salah seorang di antara mereka yang berhenti untuk memuji Allah dan untuk berterima kasih kepada Yesus (“Luke” in New Bible Commentary, eds. G.J. Wenham, et al [21st-Century Edition; Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2007], 1007).

Yohanes Calvin menyatakan:
Kesembilan orang tersebut sudah sembuh; tetapi secara jahat mereka menghapus ingatan akan anugerah Allah, kesembuhan itu sendiri telah dihina dan terkontaminasi oleh ketidakberterimakasian mereka, sehingga mereka tidak mendapatkan keuntungan yang seharusnya mereka dapatkan darinya (Commentary on Matthew, Mark, Luke, Vol. 2 [Grand Rapids, Michigan: Christian Classics Ethereal Library, 1999), 145).

Tetapi….
Pertanyaan historis yang sering terabaikan adalah “secara kultural, haruskah kesembilan orang [Yahudi] tersebut kembail untuk mengucapkan terima kasih secara verbal kepada Yesus?” Pertanyaan ini penting untuk ditanyakan karena saya khawatir, kita justru me-masuk-kan asumsi budaya kita saat ini kemudian mendistorsi maksud di balik serangkaian pertanyaan Yesus di atas.

Maksud saya begini. Kita hidup dalam budaya di mana penyampaian terima kasih secara verbal merupakan suatu keharusan. Bila seseorang menolong kita, maka kita harus mengucapkan terima kasih kepadanya. Bila tidak, maka nilai-nilai budaya yang kita hidupi akan membuat kita merasa bersalah atau bahkan disalahkan. Kita akan dicap tidak tahu berterima kasih karena tidak mengucapkan terima kasih kepada orang yang sudah menolong kita. Inilah asumsi kebudayan kita saat ini dan kita hidup setiap hari di dalamnya.

Tetapi, budaya penyampaian terima kasih secara verbal di atas BUKAN merupakan sebuah KEHARUSAN dalam konteks Yudaisme saat itu. Pada saat itu, prinsip retribusi yang dianut orang-orang Yahudi adalah “perbuatan dibalas dengan perbuatan”. Artinya, bila mereka menerima perlakuan baik, misalnya pertolongan, mereka tidak harus mengucapkan terima kasih secara verbal, mis. “terima kasih ya”. Tidak. Mereka sebenarnya sudah tahu apa yang harus mereka lakukan, yaitu mereka akan melakukan sesuatu sebagai wujud dari perasaan terima kasih mereka atas perbuatan baik yang mereka sudah terima (informasi dalam seluruh paragraf ini disadur dari: Craig L. Blomberg, Jesus and the Gospels [Leicester: Apolos, 2002], 65).

Secara kultural, perihal tidak kembalinya kesembilan orang tersebut untuk mengucapkan terima kasih, seharusnya tidak melahirkan respons sebagaimana yang terungkap melalui serangkaian pertanyaan Yesus di atas. Orang-orang Yahudi tidak akan bersungut-sungut karena orang yang mereka tolong tidak kembali dan mengucapkan terima kasih secara verbal kepada mereka.

Maka…
Maka yang mengherankan seharusnya bukan persoalan kesembilan orang itu tidak kembali untuk mengucapkan terima kasih lalu kita mencap mereka sebagai orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Bila kita melakukan ini, sudah bisa dipastikan, kita sedang melakukan eisegesis (memasukkan asumsi budaya kita sendiri ke dalam teks!).

Yang mengherankan justru adalah respons Yesus dalam bentuk serangkaian pertanyaan di atas. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan di atas, seakan-akan Yesus berharap agar kesembilan orang tersebut kembali dan menyampaikan syukur atau terima kasih kepada-Nya. Maka, yang harus kita selidiki adalah mengapa Yesus berharap demikian yang teraktualisasi dalam bentuk serangkaian pertanyaan tersebut.

Singkat saja. P. Ellingworth (“Leprosy,” in Dictionary of Jesus and the Gospels, eds. Joel B. Green & Scot McKnight [Software Version; Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2000]) menjelaskan bahwa penyakit kusta dalam pandangan Yahudi, bukan sekadar penyakit biasa. Menurut mereka, penyakit ini adalah kutukan yang membuat orang yang mengidapnya menjadi najis. Selain menajiskan, penyakit ini juga dianggap penyakit yang hanya dapat disembuhkan melalui mukjizat. Para rabi Yahudi bahkan menganggap bahwa penyembuhan terhadap penyakit kusta sama sulitnya dengan membangkitkan seseoran dari kematian (Str-B IV.2.754-63). Bukan hanya itu, pada periode Intertestamental, mulai berkembang juga pemahaman bahwa penyembuhan terhadap penyakit kusta merupakan salah satu tanda dari era Mesianik (bnd. respons Yesus terhadap pertanyaan Yohanes Pembaptis dalam Mat. 11:5).

Jadi…
Jadi Yesus “mengharuskan” kesepuluh orang tersebut untuk kembali guna berterima kasih, bukan karena sebuah keharusan budaya. Itu adalah sebuah keharusan teologis. Penyembuhan dan pentahiran atas penyakit kusta yang mereka derita, seharusnya membuat mereka melihat anugerah Allah. Mereka baru saja mengalami, ibaratnya, “kebangkitan dari orang mati” [bnd. paragraf sebelumnya]. Ironisnya, yang kembali kepada Yesus bukan kesembilan orang Yahudi yang mengenal baik tradisi teologis di atas, melainkan seorang Samaria yang dalam pandangan mereka adalah orang kafir.
Kesembilan orang Yahudi yang telah sembuh namun tidak kembali itu, mungkin, atas asumsi kultural mereka mengenai “perbuatan dibalas perbuatan”, berpikir bahwa mereka akan membalas itu dengan perbuatan baik lainnya. Mereka merasa berhutang, tentunya. Tetapi perasaan berhutang itu mereka perhitungkan sebagai hutang perbuatan, bukan hutang anugerah. Itulah sebabnya, Blomberg berkomentar: “Christ, however, was trying to teach that God’s grace is given without the possibility of repayment” [Jesus and the Gospels, 65].

Sabtu, 02 Februari 2019

Tahukah Anda..bahwa Pelayanan dapat bermakna Pemberontakan??


Namun saat ini mungkin telah tiba saatnya untuk mengajar mereka agar tidak melayani Allah.  Sebab Kitab Suci berkata, “Anak Manusia…dating bukan untuk dilayani.” (Mark. 10:45).
Alkitab berkepentingan untuk memanggil kita berbalik dari penyembahan berhala agar dapat melayani Allah yang hidup dan yang benar (1 Tesalonika 1:9). Namun Alkitab juga berkepentingan untuk menghindarkan kita dari melayani Allah yang benar dengan cara yang salah. Ada cara melayani Allah yang justru merendahkan dan menghina Dia.  Maka kita selayaknya berhati-hati agar jangan sampai merekrut hamba-hamba yang pekerjaannya justru mengurangi kemuliaan Sang Pemberi yang mahakuasa itu.  Jika Tuhan Yesus mengatakan bahwa Ia dating bukan untuk dilayani, maka pelayanan dapat bermakna pemberontakkan.
Allah berkehendak bukan untuk dilayani: “Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya…tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang” (Ki. 17:24-25).  Paulus mengingatkan kita bahwa Allah itu mustahil dilayani dengan cara apapun yang mengimplikasikan bahwa kita sedang memenuhi kebutuhanNya.  Itu akan menjadi seperti sebuah sungai yang mencoba mengisi sebuah mata sir yang menjadi sumbernya. “Dialah yang memberikan hidup  dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang.”
Semua yang dinamakan allah (ilah lain) menuntut manusia bekerja bagi mereka.  Allah kita tiak akan menempatkan diri-Nya dalam posisi seorang majikan yang harus bergantung kepada orang lain untuk dapat menyelesaikan pekerjaanNya.  Sebaliknya, Ia memaksimalkan keberadaanNya yang mahakuasa dengan melakukan pekerjaan itu seorang diri.  Dalam perkara ini, manusia menjadi rekan kerja yang bergantung.  Pekerjaan manusia adalah menantikan Tuhan.
Allah bukan mencari umat untuk bekerja bagi Dia, melainkan umat yang membiarkan Dia bekerja dengan penuh kuasa di dalam dan melalui mereka..2 Tawarikh 16:9.
Ketika kita mengajar mereka demikian, umat kita akan bertanya, “Apa yang Allah inginkan dari kita?”Bukan seperti perkiraan mereka.  Allah memperingatkan Israel untuk tidak membawa banyak korban bakaran ke hadapanNya…Mazmur 50:9-10,12)
Namun apakah sesuatu yang dapat kita berikan kepada Allah yang tidak malah merendahkan status Dia menjadi pihak penerima? Ada.  Kekuatiran kita.  Ini adalah perintah: “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya” (1 Petrus 5:7.  Allah akan berkenan menerima segala sesuatu dari kita yang menunjukkan ketergantungan kita kepadaNya. 
Dan sesungguhnyalah, keberadaan kita bergantung padaa keadaan tidak bekerja bagi Allah. (Roma 4:4-5).  Tuhan layak menerima kemuliaan selaku sang pemberi anugerah, bukan sang penerima pelayanan.
“Kedagingan” religius selalu ingin bekerja bagi Allah. Roma 8:13.Itulah sebabnya kehidupan kita sesungguhnya bergantung pada tidak bekerja bagi Allahbaik dalam pembenaran maupun dalam pengudusan.
Lalu apakah kita tidak akan melayani Kristus?  Itu diperintahkan, “Layanilah Tuhan” (Roma 12:11).  Orang yang tidak melayani Kristus  mendapat celaan (Roma 16:18).  Ya kita akan melayani Dia.  Namun sebelumnya, kita perlu memikirkan apa saja yang harus dihindari dalam melakukan pelayanan ini.
Jadi bagaimana seharusnya kita akan melayani dan tidak akan melayani?  Mazmur 123:2 mengungkapkan sebagian jawabannya.  Cara yang benar dalam melayani Allah adalah dengan menjadi seperti seorang hamba perempuan yang matanya memandang kepada tangan nyonyanya, memohon belas kasihan.
Satu-satunya cara yang yang benar dalam melayani Allah adalah dengan mengembalikan kepadaNya segala kemuliaan..1 Petrus 4:11.  Bagaimana kita dapat melayani hingga Allah dapat dimuliakan?  Kita hendaknya melayani dengan kekuatan yang dianugerahkanNya.  Saat keberadaan kita sedang paling aktif bagi Allah, kita tetap merupakan pihak penerima.  Allah takkan pernah merelakan kemuliaan sebagai pihak pemberi, selamanya!
Jadi marilah kita bekerja segiat-giatnya, namun sambil tetap mengingat bahwa semua itu bukannya oleh kita, melainkan oleh kasih karunia yang dianugerahkan-Nya (1 Kor. 15:10).  Marilah kita senantiasa taat namun dengan tidak melupakan bahwa Allahlah yang mengerjakan di dalam kita baik kemauan maupun pekerjaan (Filipi 2:13).  Dalam seluruh pelayanan kita, kiranya Allah menjadi sang pemberi, dan kiranya Allah memperoleh kemuliaan.
Sampai kemudian umat memahami hal ini saudaraku, ajari mereka untuk tidak melayani Allah!

--------------------------------
10 Desember 2015
John Piper. Brother We Are Not Professionals(Bandung: Pionir Jaya, 2011)