Sekilas
tentang Latar Kultural Lukas 17:11-19
Pertanyaan pada judul di atas
merupakan bagian dari serangkaian pertanyaan Yesus setelah Ia menyembuhkan
sepuluh orang kusta (Luk. 17:11-19). Yesus melontarkan serangkaian pertanyaan
karena Ia mendapati bahwa hanya salah seorang di antara sepuluh orang kusta
tersebut yang kembali untuk “mengucap syukur kepada-Nya” (berterima kasih).
Memang, kisah yang sangat menarik
ini mengandung beberapa aspek latar belakang yang harus dieksplorasi untuk
memahaminya secara utuh. Mis. tentang sikap orang-orang Yahudi terhadap
penyakit kusta dan orang yang mengidapnya; aturan-aturan tahir-najis; dan
hubungan orang Yahudi-Samaria sampai pada masa Yesus.
Namun dalam catatan singkat ini,
saya hanya akan fokus untuk mengeksplorasi latar kultural yang berhubungan
dengan serangkaian pertanyaan Yesus:
Bukankah kesepuluh orang tadi
semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah
di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang
asing ini? (Luk. 17:18).
Umumnya…
Pada umumnya orang memahami bahwa asumsi di balik pertanyaan-pertanyaan di atas adalah bahwa terdapat keharusan untuk kembali guna “mengucapkan syukur kepada-Nya” (ay. 16). Kita bisa menyebutnya “mengucapkan terima kasih” (istilah Yunani yang digunakan: eukharisteo – yang dalam banyak versi terjemahan bahasa Inggris: “giving thanks”; BIS-LAI: “mengucapkan terima kasih”]. Hanya orang Samaria itu yang kembali untuk mengucapkan terima kasih, sedangkan sembilan orang yang lain tidak. Dengan kata lain, kesembilan orang tersebut, bila mengungganakan pengungkapan negatif, kita bisa menyebut mereka “tidak tahu berterima kasih”. Mengapa? Karena mereka tidak kembali untuk menyampaikan terima kasih secara verbal (mengucapkan terima kasih) kepada Yesus.
Pada umumnya orang memahami bahwa asumsi di balik pertanyaan-pertanyaan di atas adalah bahwa terdapat keharusan untuk kembali guna “mengucapkan syukur kepada-Nya” (ay. 16). Kita bisa menyebutnya “mengucapkan terima kasih” (istilah Yunani yang digunakan: eukharisteo – yang dalam banyak versi terjemahan bahasa Inggris: “giving thanks”; BIS-LAI: “mengucapkan terima kasih”]. Hanya orang Samaria itu yang kembali untuk mengucapkan terima kasih, sedangkan sembilan orang yang lain tidak. Dengan kata lain, kesembilan orang tersebut, bila mengungganakan pengungkapan negatif, kita bisa menyebut mereka “tidak tahu berterima kasih”. Mengapa? Karena mereka tidak kembali untuk menyampaikan terima kasih secara verbal (mengucapkan terima kasih) kepada Yesus.
Beberapa komentar berikut akan
memperlihatkan pemahaman umum di atas. Leon Morris mengomentari hal tidak
kembalinya kesembilan orang tersebut demikian:
Tetapi tampaknya kesembilan orang
tersebut terlalu diliputi oleh kebahagiaan baru mereka sehingga mereka tidak
menyisakan perhatian lagi terhadap sumbernya (Luke [TNTC; Surabaya:
Momentum, 2007], 283).
Ian Howard Marshall berkomentar:
[Mereka] semua memperlihatkan iman
dan disembuhkan, namun hanya salah seorang di antara mereka yang berhenti untuk
memuji Allah dan untuk berterima kasih kepada Yesus (“Luke” in New Bible
Commentary, eds. G.J. Wenham, et al [21st-Century Edition;
Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2007], 1007).
Yohanes Calvin menyatakan:
Kesembilan orang tersebut sudah
sembuh; tetapi secara jahat mereka menghapus ingatan akan anugerah Allah,
kesembuhan itu sendiri telah dihina dan terkontaminasi oleh
ketidakberterimakasian mereka, sehingga mereka tidak mendapatkan keuntungan
yang seharusnya mereka dapatkan darinya (Commentary on Matthew, Mark, Luke,
Vol. 2 [Grand Rapids, Michigan: Christian Classics Ethereal Library, 1999),
145).
Tetapi….
Pertanyaan historis yang sering terabaikan adalah “secara kultural, haruskah kesembilan orang [Yahudi] tersebut kembail untuk mengucapkan terima kasih secara verbal kepada Yesus?” Pertanyaan ini penting untuk ditanyakan karena saya khawatir, kita justru me-masuk-kan asumsi budaya kita saat ini kemudian mendistorsi maksud di balik serangkaian pertanyaan Yesus di atas.
Pertanyaan historis yang sering terabaikan adalah “secara kultural, haruskah kesembilan orang [Yahudi] tersebut kembail untuk mengucapkan terima kasih secara verbal kepada Yesus?” Pertanyaan ini penting untuk ditanyakan karena saya khawatir, kita justru me-masuk-kan asumsi budaya kita saat ini kemudian mendistorsi maksud di balik serangkaian pertanyaan Yesus di atas.
Maksud saya begini. Kita hidup dalam
budaya di mana penyampaian terima kasih secara verbal merupakan suatu
keharusan. Bila seseorang menolong kita, maka kita harus mengucapkan
terima kasih kepadanya. Bila tidak, maka nilai-nilai budaya yang kita hidupi
akan membuat kita merasa bersalah atau bahkan disalahkan. Kita akan dicap tidak
tahu berterima kasih karena tidak mengucapkan terima kasih kepada orang
yang sudah menolong kita. Inilah asumsi kebudayan kita saat ini dan kita hidup
setiap hari di dalamnya.
Tetapi, budaya penyampaian terima
kasih secara verbal di atas BUKAN merupakan sebuah KEHARUSAN dalam konteks
Yudaisme saat itu. Pada saat itu, prinsip retribusi yang dianut orang-orang
Yahudi adalah “perbuatan dibalas dengan perbuatan”. Artinya, bila mereka menerima
perlakuan baik, misalnya pertolongan, mereka tidak harus mengucapkan terima
kasih secara verbal, mis. “terima kasih ya”. Tidak. Mereka sebenarnya sudah
tahu apa yang harus mereka lakukan, yaitu mereka akan melakukan sesuatu sebagai
wujud dari perasaan terima kasih mereka atas perbuatan baik yang mereka sudah
terima (informasi dalam seluruh paragraf ini disadur dari: Craig L. Blomberg, Jesus
and the Gospels [Leicester: Apolos, 2002], 65).
Secara kultural, perihal tidak
kembalinya kesembilan orang tersebut untuk mengucapkan terima kasih, seharusnya
tidak melahirkan respons sebagaimana yang terungkap melalui serangkaian
pertanyaan Yesus di atas. Orang-orang Yahudi tidak akan bersungut-sungut karena
orang yang mereka tolong tidak kembali dan mengucapkan terima kasih secara
verbal kepada mereka.
Maka…
Maka yang mengherankan seharusnya bukan persoalan kesembilan orang itu tidak kembali untuk mengucapkan terima kasih lalu kita mencap mereka sebagai orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Bila kita melakukan ini, sudah bisa dipastikan, kita sedang melakukan eisegesis (memasukkan asumsi budaya kita sendiri ke dalam teks!).
Maka yang mengherankan seharusnya bukan persoalan kesembilan orang itu tidak kembali untuk mengucapkan terima kasih lalu kita mencap mereka sebagai orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Bila kita melakukan ini, sudah bisa dipastikan, kita sedang melakukan eisegesis (memasukkan asumsi budaya kita sendiri ke dalam teks!).
Yang mengherankan justru adalah
respons Yesus dalam bentuk serangkaian pertanyaan di atas. Dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan di atas, seakan-akan Yesus berharap agar kesembilan orang
tersebut kembali dan menyampaikan syukur atau terima kasih kepada-Nya. Maka,
yang harus kita selidiki adalah mengapa Yesus berharap demikian yang
teraktualisasi dalam bentuk serangkaian pertanyaan tersebut.
Singkat saja. P. Ellingworth
(“Leprosy,” in Dictionary of Jesus and the Gospels, eds. Joel B. Green
& Scot McKnight [Software Version; Downers Grove, Illinois: InterVarsity
Press, 2000]) menjelaskan bahwa penyakit kusta dalam pandangan Yahudi, bukan sekadar
penyakit biasa. Menurut mereka, penyakit ini adalah kutukan yang membuat orang
yang mengidapnya menjadi najis. Selain menajiskan, penyakit ini juga dianggap
penyakit yang hanya dapat disembuhkan melalui mukjizat. Para rabi Yahudi bahkan
menganggap bahwa penyembuhan terhadap penyakit kusta sama sulitnya dengan
membangkitkan seseoran dari kematian (Str-B IV.2.754-63). Bukan hanya itu, pada
periode Intertestamental, mulai berkembang juga pemahaman bahwa penyembuhan
terhadap penyakit kusta merupakan salah satu tanda dari era Mesianik (bnd.
respons Yesus terhadap pertanyaan Yohanes Pembaptis dalam Mat. 11:5).
Jadi…
Jadi Yesus “mengharuskan” kesepuluh orang tersebut untuk kembali guna berterima kasih, bukan karena sebuah keharusan budaya. Itu adalah sebuah keharusan teologis. Penyembuhan dan pentahiran atas penyakit kusta yang mereka derita, seharusnya membuat mereka melihat anugerah Allah. Mereka baru saja mengalami, ibaratnya, “kebangkitan dari orang mati” [bnd. paragraf sebelumnya]. Ironisnya, yang kembali kepada Yesus bukan kesembilan orang Yahudi yang mengenal baik tradisi teologis di atas, melainkan seorang Samaria yang dalam pandangan mereka adalah orang kafir.
Jadi Yesus “mengharuskan” kesepuluh orang tersebut untuk kembali guna berterima kasih, bukan karena sebuah keharusan budaya. Itu adalah sebuah keharusan teologis. Penyembuhan dan pentahiran atas penyakit kusta yang mereka derita, seharusnya membuat mereka melihat anugerah Allah. Mereka baru saja mengalami, ibaratnya, “kebangkitan dari orang mati” [bnd. paragraf sebelumnya]. Ironisnya, yang kembali kepada Yesus bukan kesembilan orang Yahudi yang mengenal baik tradisi teologis di atas, melainkan seorang Samaria yang dalam pandangan mereka adalah orang kafir.
Kesembilan orang Yahudi yang telah
sembuh namun tidak kembali itu, mungkin, atas asumsi kultural mereka mengenai
“perbuatan dibalas perbuatan”, berpikir bahwa mereka akan membalas itu dengan
perbuatan baik lainnya. Mereka merasa berhutang, tentunya. Tetapi perasaan
berhutang itu mereka perhitungkan sebagai hutang perbuatan, bukan hutang
anugerah. Itulah sebabnya, Blomberg berkomentar: “Christ, however, was
trying to teach that God’s grace is given without the possibility of repayment”
[Jesus and the Gospels, 65].