Rabu, 29 Desember 2010

NATAL, MEMULIAKAN MANUSIA

Natal, Memuliakan Manusia
Jumat, 24 Desember 2010 | 10:12

Setidaknya, ada tiga hal besar yang mengusik umat Kristiani saat merayakan Natal tahun ini. Pertama, berbagai bencana yang telah menimbulkan korban jiwa. Kedua, puluhan juta rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan akibat kebijakan publik yang tidak adil. Ketiga, kebebasan beragama yang semakin terkoyak.

Natal sesungguhnya membawa sukacita. Namun, di tengah kegembiraan memperingati kelahiran Yesus Kristus, sang juru selamat manusia, keprihatinan yang terasa dalam hati umat Kristiani tak bisa begitu saja disingkirkan.

Bencana gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan banjir, telah menimbulkan banyak korban jiwa. Korban yang selamat dari bencana harus menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Harta-benda melayang, kehilangan sanak keluarga. Demikian juga sumber mata pencarian. Para korban kini hanya bisa bergantung pada belas kasihan orang lain.

Saudara-saudara kita di Wasior, Mentawai, dan lereng Merapi, pasti tak sepenuhnya bisa menyambut Natal dengan sukacita. Mereka masih bergumul dengan kesulitan hidup. Dalam kondisi seperti ini, berbagai bantuan dan solidaritas yang diberikan sangat membantu mereka.

Dalam pada itu, puluhan juta penduduk Indonesia tergolong miskin absolut. Mereka tidak memiliki pekerjaan, aset, investasi, dan harapan. Mereka tidak ingin hidup miskin. Mereka bekerja keras untuk memperbaiki nasib, tapi hidup mereka tetap miskin karena kebijakan pemerintah tidak menguntungkan mereka. Mereka adalah petani yang tidak punya lahan garapan, pekerja dengan pendapatan tidak menentu, dan penganggur tanpa jaminan hidup. Mereka membutuhkan uluran tangan kita.

Manusia sesungguhnya adalah makhluk tertinggi yang diciptakan sesuai gambaran dan citra Allah. Demi menyelamatkan manusia, Tuhan turun ke dunia, mengambil wujud manusia, bahkan manusia paling hina agar manusia dimuliakan, agar manusia diselamatkan. Natal adalah momentum bagi kaum beriman untuk mengangkat sesama yang kurang beruntung agar hidup mereka bermartabat.

Kemiskinan telah menurunkan martabat manusia. Banyak saudara kita yang direndahkan karena mereka hidup dalam kungkungan kemiskinan. Natal kali ini tak perlu dirayakan berlebihan sebagai wujud solidaritas terhadap sesama saudara yang miskin dan para korban bencana. Sebagian rezeki kita hendaknya disisihkan untuk membantu korban bencana dan kaum miskin. Mereka harus diberdayakan untuk kembali memperoleh martabat kemanusiaannya.

Perhatian dan bantuan kepada korban bencana dan kaum miskin sejalan dengan ajaran Yesus. Dalam Injil Matius 25:40 tertulis,”Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Yesus mengajari kita untuk memberi makan orang yang lapar, memberi minum kepada orang haus, serta memberi tumpangan kepada orang asing. Intinya, kita harus berbagi dengan sesama yang kurang beruntung.

Kita salut kepada para orang kaya di dunia dan di Indonesia yang terus meningkatkan dana filantropi. Hal itu menunjukkan kepedulian dan kecintaan terhadap sesama. Masih banyak manusia di bumi yang hidup dalam kelaparan, sementara tak sedikit pula orang yang beruntung menikmati hidup dalam kelimpahan. Solidaritas terhadap sesama manusia harus senantiasa ditumbuhkan untuk mengangkat martabat manusia yang kini sedang menderita.

Di tengah berbagai bencana, kita masih melihat adanya rongrongan terhadap kebebasan menjalankan ibadah sesuai amanat UUD 1945. Sejumlah lembaga dan tokoh pluralis menyebut 2010 sebagai tahun kekerasan terhadap pemeluk agama. Data yang dihimpun The Wahid Institute menunjukkan selama tahun ini terjadi minimal 63 kasus kekerasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah ini naik 44% dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 35 kasus. Ada dua bentuk pelanggaran terkait kebebasan menjalankan ibadah, yakni pencabutan izin dan pelarangan penggunaan tempat ibadah, serta pembiaran aparat negara terhadap kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil.

Untuk itu, kita mendesak aparat Kepolisian berani bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini memang dikenal kerap mengganggu kebebasan umat Kristiani menjalankan ibadat. Kelompok-kelompok itu sudah teridentifikasi dan berulang kali beraksi, sehingga tak sulit bagi polisi untuk menindaknya. Hanya saja diperlukan keberanian untuk menegakkan hukum. Keberanian menindak itulah yang harus disuntikkan Kapolri Jenderal Timur Pradopo kepada anak buahnya di lapangan agar tidak ragu-ragu menangkap dan memproses secara hukum para pelaku tindak kekerasan keagamaan.

Sedangkan dari sisi umat Kristiani, kita harus menunjukkan bahwa keluarga-keluarga Kristen selalu membawa berkat dan kedamaian bagi sesama, dan bukan sebaliknya menciptakan permusuhan. Kita pun harus bersedia hidup membaur dan berperan aktif dalam lingkungan rukun tetangga dan rukun warga. Partisipasi positif dalam kehidupan sehari-hari secara otomatis menyingkirkan prasangka dan stigma Kristenisasi. Cara hidup inklusif harus dikedepankan dan dari sana terpancar terang ajaran Kristus. Kehidupan yang rukun dan harmonis dalam sebuah komunitas yang heterogen akan bisa terwujud apabila kita tidak tinggi hati dan selalu bersedia untuk berbagi dengan sesama. Selamat merayakan Natal!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar