Minggu, 31 Januari 2010

ALKITAB ATAU PENGALAMAN?

Bagi orang-orang Kristen, otoritas yang menentukan apa yang benar adalah Alkitab. Apabila kita menerima dan menempatkan Alkitab sebagai satu-satu otoritas yang menentukan iman dan perbuatan kita, maka kehidupan kekristenan kita akan berhasil baik. Namun, apabila Alkitab tidak diterima dan tempatkan sebagai otoritas yang menentukan iman dan perbuatan, maka doktrin palsu dan keduniawiaan akan merusak jemaat setempat. Contohnya, Gereja2 Roma Katolik mengajarkan bahwa tradisi dan Alkitab memiliki otoritas yang sederajat. Reformasi Protestant membawa gereja kembali menerima Alkitab sebagai otoritas yang menentukan. Orang-orang Kharismatik tanpa disadari menempatkan pengalaman dan Alkitab sebagai otoritas yang sederajat bagi jemaat dan mengurangi Alkitab sebagai otoritas yang menentukan bagi orang kristen. Tipe keKristenan yang akan kita percayai sebagian besar terletak pada apakah kita menerima Alkitab sebagai otoritas yang menentukan atau tidak. Ini adalah persoalan yang vital karena “Apabila dasar-dasar dihancurkan, apakah yang dapat dibuat oleh orang benar itu?” (Mazmur 11:3).

“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” (Mazmur 119:105).

Meskipun Petrus menyaksikan Yesus berubah muka (Matius 17:1-8) , namun dia mendasari iman pada Firman Tuhan “Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi.” (2 Petrus 1:16-21). Paulus juga memiliki pengalaman rohani yang luar biasa (KPR 9:3-18) tetapi dia mendasari pengajarannya pada Firman Tuhan (Kis. 17:2).

Dua cara utama menemukan Allah.

(a)Objektif – Cara Alkitabiah untuk menemukan Allah adalah mengenalnya melalui penyataan diriNya di dalam Firman Allah. Kita mengawalinya dengan membaca (mendengar) Firman Allah, memahami kebenaran-kebenarannya, mempertimbangkannya, menerimanya ke dalam hatinya dan kemudian menanggapinya. Imannya didasarkan pada “firman yang telah disampaikan oleh para nabi (2 Petrus 1:19) yang tidak dapat diubah (Matius 5:18 — Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi) dan bukan pada perasaannya yang selalu berubah-ubah, opini manusia yang juga berubah-ubah, atau pada tradisi gereja yang dapat salah.

Setiap orang percaya diharapkan bertindak secara rasional terhadap kebenaran Allah yang objektif di dalam firmanNya.

(b)Subyektif – cara penyembah berhala menemukan allah adalah menemukannya melalui perasaan-perasaan manusia, pengalaman-pengalaman manusia, pikiran-pikiran atau tradisi-tradisi manusia mengenai Allah. Kebanyakan agama-agama penyembah berhala hanya ada sedikit penekanan terhadap doktrin dan kebanyakan penyembahan atau ibadah mereka tidak rasional dan bersifat pengalaman. Untuk mendapatkan suatu pengalaman keagamaan bermacam-macam metode dipakai, misalnya bangunannya mengesankan, mujizat-mujizat, musik-musik yang bersifat emosional, dansa, minum-minuman keras, seks, gaib. Ini merangsang indera penglihatannya, pendengarannya, pemciumannya dan sentuhannya tetapi mengurangi kekuatan dari pikiran rasionalnya. Rangsangan inderanya memberikan perasaan baik yang sering dianggap hadirat Allah – padahal dalam kenyataannya kemungkinan penglihatan, musik yang emosional atau bahkan Iblis yang mengesankannya, misalnya, seorang penyembah berhala mencari Allah dengan berusaha menemukanNya dengan menghampiri gunung yang dianggap kramat dan Iblis membantunya dengan fenomena supranatural (misalnya suara-suara asing terdengar dari pegunungan). Penyembah berhala dikesankan oleh pengalaman dan menganggap bahwa Allah sungguh-sungguh ada di dalam gunung itu.

Mengapa pengalaman penting bagi orang-orang Kharismatik?

(a)Pentakostalism didirikan atas dasar pengalaman - Agnes Ozman meminta dan menerima baptisan Roh Kudus dan mulai berbicara dalam bahasa lidah. Dan berdasarkan pengalamannya (dan bukan karena pengajaran yang jelas dari Firman Allah) orang-orang lain di dalam gereja berusaha mencari pengalaman yang sama, dan gereja Pantekosta lahir dari itu. Sesudah itu, ayat-ayat alkitab dicari-cari untuk mendukung pengalaman tersebut.

(b)Orang-orang Kharismatik mengawali kehidupan Kristen mereka dengan mencari pengalaman berbicara dalam bahasa lidah. Ini menggiring mereka untuk percaya bahwa kehidupan Kristen adalah suatu rangkaian pengalaman. Mereka sering bertanya, “Sudahkah saudara memiliki pengalaman berbicara dalam bahasa lidah?” Mereka biasanya mengembangkannya keinginan mereka semakin besar dan semakin besar supaya makin mengalami hal-hal yang mengesankan.

Kepercayaan lainnya yang telah memperbesar atau menambah kepada penekanan pada pengalaman kekristenan ini?

(a)Hedonism (yaitu paham yang dianut orang-orang yang mencari kesenangan semata). “allah” bagi orang-orang hedonism adalah kesenangan. Filsafatnya adalah mencari kesenangan dengan pengalaman perasaan yang luar biasa – dengan menggunakan musik, alkohol, obat-obatan dan kalau perlu dengan ilmu-ilmu gaib. Kebenaran adalah tidak penting, perasaanya yang lebih penting. Kebenaran adalah apa yang saudara rasakan, Allah adalah apa yang saudara rasakan dengan keberadaannya. Maka itu seharusnya membuat kita merasa baik.

(b)Humanism – Manusia adalah pusat dari alam semesta, bukan Allah. Bahkan di dalam gereja, alasan untuk penyembahan bukanlah Allah melainkan manusianya. Ibadah harusnya menyenangkan manusia dan dia harus menjadi fokusnya, bukan Allah. Oleh karena itu, setiap orang ingin menjadi “orang penting” di dalam gereja. Dia harus menjadi bebas untuk mengatakan apa yang dia sukai dan melakukan apa yang dia sukai. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menghentikannya atau mengkritiknya. Jika saudara tidak menyukainya – So what? Setiap orang ingin menjadi “orang penting” dan memiliki pengalaman khususnya sendiri.

Bagaimana orang-orang Kharismatik menafsirkan Alkitab?

Orang-orang Kharismatik ingin menyesuaikan Alkitab dengan pengalaman mereka. Ini mendorong mereka pada tegangan yang makin besar dan tidak dapat dirujuk kembali. Oleh karena itu, untuk mendamaikan perbedaan antara pengalaman mereka dan Alkitab, mereka berkata, “Itu adalah apa yang Alkitab katakan kepada saudara tetapi ini adalah apa yang Alkitab katakan kepada saya.” Atau “itu kan tafsiranmu tetapi bukan begitu cara saya menafsirkannya.” Mereka percaya bahwa ayat-ayat yang sama mungkin memiliki arti yang berbeda untuk orang-orang yang berbeda. Sementara kita semua mengakui bahwa memang kita memiliki aplikasi yang bermacam-macam dari ayat-ayat yang sama, namun kita semua setuju bahwa pengertiannya dari suatu ayat adalah sama bagi semua orang Kristen. Contohnya, ketika suatu ayat mengajarkan bahwa kita “dapat melakukan segala perkara melalui Kristus” (Filipi 4:13), seseorang mungkin mengklaim janji ini untuk mengatasi dosa di dalam kehidupannya, sementara yang lainnya mungkin bertobat supaya dia tidak lagi menggunakan kekuatannya.

Bagaimana seharusnya menafsirkan Alkitab?

“The infallible rule of interpretation of Scripture is the Scripture itself and therefore, when there is a question about the true and full sense of any Scripture, it must be searched and known by other places that speak more clearly” (Westminster Confession of Faith 1.9). Ini adalah metode penafsiran Alkitab yang disebut analogi kitab suci. Karena alkitab satu-satu buku yang lengkap dan sempurna (2 Tim. 3:16; Wahyu 22:8,19) maka Alkitab adalah otoritas dan komentar kita.

a) Alkitab menafsirkan Alkitab – Seringkali penafsiran Alkitab diberikan dengan jelas oleh bagian lain di dalam Alkitab. Contohnya, nubuatan Yesaya di dalam Yesaya 7:14 dikatakan digenapi di dalam kelahiran Kristus (Mat. 1:22). Di dalam kasus demikian tidak ada keraguan mengenai apa maksud nubuatan tersebut dan tidak seorang pun yang harus menciptakan pengertian baru lainnya terhadap hal yang telah jelas diberikan oleh Allah.

b) Tafsirkan Alkitab di dalam konteksnya – Konteks adalah bagian dari teks yang memimpin dan mengikut pasal itu – Ketika kita mengambil teks diluar konteks itu dengan mudah membuat sebuah dalih!! Contohnya, 1 Korintus 3:15 bagaimana ditafsirkan oleh roma Katolik diluar konteks di mana dia menafsirkan itu sebagai api penyucian (Purgatory). Padahal di dalam konteksnya kita membaca bahwa itu adalah standar Allah yang tinggi untuk menilai pekerjaan kita untukNya.

1 komentar:

  1. Well sebuah paparan yang sangat menarik dan menambah wawasan. Thanks ya Pak.
    God bless !
    Sony Tjandra

    BalasHapus