Seorang pengkhotbah menyarankan agar pendengarnya “percaya pada kuasa iman.” Terdengar masuk akal, bukan? Terdengar seakan-akan alkitabiah. Tetapi Alkitab tidak pernah menyuruh kita meletakkan kepercayaan kita pada kekuatan iman kita. Itu adalah hipnotis yang bersifat keagamaan, atau cara berpikir serba mungkin atau sikap mental positif. Tetapi cara berpikir positif sama sekali berbeda dengan iman alkitabiah. Iman akan memberi saudara sikap positif, tetapi sikap positif belum tentu berarti iman.
Saya menyinggung hal ini karena kelihatannya sebagian orang mempunyai kecenderungan menaruh kepercayaan pada imannya. Berapa banyak kali mereka berkeluh kesah tentang kelemahan imannya, dengan memakainya sebagai alasan bagi kegagalan?
Banyak orang menyatakan memiliki iman dan banyak orang meminta iman. Janji-janji dibuat atas nama iman mulai dari yang rutin sampai yang menggelikan, mulai dari “Allah ingin saudara sehat.” Sampai, “Semua orang bisa memiliki mobil Cadillac sendiri.”
Seorang pendeta terkena suatu penyakit yang dapat disembuhkan, tetapi ia menolak pengobatan karena ia percaya Allah akan menyembuhkan dia dengan iman semata. Sementara teman-temannya berlutut di sekeliling tempat tidurnya untuk meminta kesembuhannya, ia meninggal.
Tetapi yang benar adalah, iman itu sendiri tidak memiliki kuasa. Bukan iman yang yang memindahkan gunung, Allah sendiri yang melakukannya.
Ingatkah Saudara ketika murid-murid sedang menyeberangi danau dan perahu hampir tenggelam karena badai? Yesus tertidur dan mereka datang menghampiriNya, sambil berteriak: “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”—Markus 4:38. Yesus tidak berkata, “Jika imanmu lebih kuat, Aku akan menenangkan badai, tapi karena imanmu begitu lemah, Aku akan membiarkan perahumu tenggelam.” Bagaimanapun juga, iman mereka tidak cukup kuat untuk menghentikan riak air, apalagi meneduhkan gelombang besar. Yang penting bukanlah ukuran iman mereka, tetapi macamnya – bukan jumlahnya tetapi mutunya. Walaupun iman mereka hampir tidak nampak, iman mereka mempunyai obyek yang tepat – Yesus.
Jadi Kuasa iman terletak pada obyeknya. Iman tidak lebih kuat daripada obyeknya. Hal yang penting bukanlah iman, melainkan obyek iman itu. Saudara dapat percaya dengan segenap hati, jiwa dan akal budi sampai mati, tetapi jika iman saudara tertuju pada obyek yang salah, Saudara hanya membuang-buang waktu saja.
Apa obyek iman yang tepat? Yesus menjelaskan dalam Markus 11:22: “Percayalah kepada Allah.” Obyek iman adalah Allah. Yesus tidak mengatakan kepada murid-muridNya agar “percayalah.” Tetapi agar “Percayalah kepada Allah.” Iman kita haruslah kepada Allah. Hal ini mungkin kelihatan tidak penting sebab semua orang telah mengetahuinya, betul tidak? Bisa jadi kita kaget mendapati bahwa iman kita sering kita taruh pada hal-hal lain di luar Allah.
Terus terang, saya tidak pernah mempercayai kekuatan iman saya; saya mengenal betul iman saya itu. Saya setuju dengan Spurgeon ketika ia berkata:
“Jangan pernah menjadikan imanmu itu Kristus, dan jangan mengangap seolah-olah imanmu itu sumber keselamatan yang berdiri sendiri. Hidup kita dibangun dengan “mata yang tertuju kepada Yesus”—Ibrani 12:2, bukan tertuju pada iman kita sendiri. Dengan iman segala sesuatu mungkin bagi kita, tetapi kuasa bukan terdapat pada iman, melainkan pada Allah, yang padaNya iman bersandar.
“Percaya pada kuasa iman” sebenarnya berarti percaya pada diri Saudara sendiri, pada kemampuan Saudara untuk berpikir positif dan mempertahankan sikap mental positif. Kita memandang iman kita pada saat kita seharusnya memandang kepada Kristus. Penulis kitab Ibrani, setelah menjejerkan orang-orang beriman yang luar biasa kepada kita, berkata, “Dengan mata yang tertuju kepada Yesus yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan.”—Ibrani 12:2.
Iman sejati tidak menaruh perhatian sedikitpun pada iman itu sendiri. Iman sejati memusatkan seluruh pandanganya pada Kristus. Jadi jangan memandang pada iman saudara, pandanglah pada Yesus. Daripada mengukur iman Saudara lebih baik mengukur Allah Saudara. Daripada menilai situasi berdasarkan iman Saudara, lebih baik menilainya berdasarkan kemampuan Allah. Jadi serahkanlah situasi itu kepadaNya dan percayakan kepadaNya untuk menanggulangi masalah tersebut. Itulah yang dimaksud dengan iman – Bersandar pada kesetiaan Allah.
Waktu saya di kalimantan Barat, saya dan teman pergi ke suatu dareah di Kalbar, sya tidak begitu ingat namanya. Yang jelas 4 jam perjalanan dari Pontianak. Saya yang nyetir, bawa mobil kijang. enatha di mana ada jembatan dari kayu. Saya ragu untuk melintas di atas jembatan tersebut. Saya tunggu sampai ada kendaraan lain yang lewat dan melintasi jembatan itu. Beberapa menit kemudian, ada truk lewat dan tanpa ragu-ragu melintasi jembatan itu. Tidak ada keruaguan sedikitpun di raut wajah supir truk tersebut melintasi jembatan tersebut. Akhirnya saya ada keberanian untuk melintasi jembatan itu karena pikir saya mobil truk itu saja bisa melintasi jembatan itu apalagi mobil kijang. Walaupun masih ragu2, namun akhirnya saya tetap melangkah dan puji Tuhan saya dapat melintasinya. Pertanyaannya, apakah yang menopang saya sehingga bisa melintasi jembatan itu?
Bukan kepercayaan yang menopang saya, melainkan jembatan itu. Jika kepercayaan yang menopang saya, saya pasti telah ambruk. Tetapi saya, dengan kepercayaan kecil saya, ternyata sama selamatnya dengan truk yang kepercayaan besar itu. Kalau begitu apa gunanya memiliki kepercayaan yang besar? Bayangkan kalau saya kurang percaya, saya selalu berjalan dalam ketakutan dan kegelisahan. Sedangkan sopir truk itu dia berjalan tanpa ketakutan dan kegelisahan, karena dia memiliki kepercayaan yang besar. Saya heran mengapa supir truk itu memiliki kepercayan yang besar ketika melewati jembatan itu? Jawabannya adalah, dia adalah penduduk di situ, dia mengenal keadaan jembatan itu.
Mudah-mudahan ini memberkati kita semua.
pak foto nya bagus-bagus
BalasHapus